
Dana triliunan rupiah itu digunakan untuk membiayai perjalanan
sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan
iklan. ”Proporsi untuk iklan cukup banyak karena bisa menjangkau seluruh
Indonesia. Hanya turun ke lapangan saja tidak akan efektif,” ujar Indra. (kompas.com,
26/1).
Menurut Pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, ada tiga faktor yang
membuat biaya capres makin mahal (inilah.com, 26/1). Pertama, adanya perubahan
model kampanye dengan pemilihan presiden secara langsung. Menurutnya, perubahan ini membuat biaya politik sangat mahal. Yang diuntungkan
orang-orang yang punya duit banyak.
Faktor kedua, munculnya iklan di televisi yang menjadi alat efektif
untuk pengaruhi pemilih dan jangkauannya yang luas. Arya mencontohkan, dana kampanye Obama (Presiden AS) setelah 2008, sebanyak 54% habis
di iklan. Menurutnya, di 2014 nanti,
setengah dana capres juga akan habis di iklan.
Faktor ketiga, pergeseran
politik yang makin personal, maka orang makin
butuh personal branding (pencitraan personal). Semua itu butuh biaya. Biaya mahal juga dibutuhkan bagi siapa saja yang
maju dalam pemilu legislatif.
Mahalnya biaya capres bukan hanya terjadi di
negeri ini. Mahalnya biaya menjadi pemimpin bisa jadi merupakan karakteristik
sistem politik demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju,
biaya pencapresan juga sangat mahal.
Di Amerika Serikat misalnya, menurut Center
for Responsive Politic (http://www.opensecrets.org/pres12/) pada pemilu presiden
2012 lalu dana yang dibelanjakan oleh tim kampanye Mitt Romney, calon dari
Republik yang kalah mencapai US$ 1,238 miliar atau sekitar Rp 12,38 triliun (1
US$= Rp 10.000). Sementara belanja tim kampanye Obama mencapai US 1,107 miliar
dolar atau sekitar Rp 11.07 triliun.
Sementara itu Politico melaporkan bahwa
ketua Federal Election Commission Ellen Weintraub mengumumkan belanja pemilu di
AS tahun 2012 mencapai US$ 7 miliar. Terdiri dari total belanja kandidat US$
3,2 miliar, belanja partai US$ 2 miliar dan belanja grup luar (organisasi
pendukung) US 2,1 miliar (http://www.motherjones.com/mojo/2013/02/2012-election-cost-7-billion-obama-romney).
Obama pada tahun 2008 membelanjakan US$ 730
juta atau sekitar Rp 7,3 triliun untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali
jumlah yang dibelanjakan oleh George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260
kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan
dolar pada tahun 2011).
Biaya besar juga masih tetap dibutuhkan untuk
pencapresan di Perancis. Padahal biaya pencapresan di Perancis dianggap sangat murah.
Sebab belanja kampanye dibatasi oleh Undang-undang, termasuk tidak boleh ada
iklan di televisi dan setiap kandidat diberi dana kampanye oleh negara sebesar
8 juta Euro. Meski demikian, pada tahun 2007 Sarkozy untuk memenangi pemilu dan
menjadi presiden harus membelanjakan 21 juta Euro. Sementara lawannya seorang
sosialis Ségolène Royal membelanjakan 20 juta
Euro (http://www.huffingtonpost.com/sophie-meunier/france-election-laws_b_1438456.html)
Kompensasi
Pertanyaannya, dari mana dana sebesar itu?
Dana sebesar itu sebagian bisa berasal dari kantong kandidat sendiri. Sebagian
lainnya berasal dari donor, baik perusahaan atau individu, termasuk sumbangan
kecil-kecil dari individu.
Ada pepatah, tidak ada makan siang gratis. Semua
donasi itu, terutama yang berasal dari perusahaan atau individu
kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis, melainkan harus diberi kompensasi
baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hitungan kapitalis, donasi itu
merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan.
Kompensasi kepada para pemodal kampanye itu
bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek. Karena itulah,
kenapa tak jarang terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk
pihak-pihak tertentu baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Kompensasi juga bisa diberikan secara tidak
langsung. Yaitu dengan jalan dibuat kebijakan-kebijakan, peraturan dan
undang-undang yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan kapitalis. Contohnya,
pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara,
pembebasan bea, dan sebagainya. Atau kebijakan pemberian konsesi pengusahaan
tambang, hutan, perkebunan dan sebagainya. Dan jika perlu peraturan diubah
untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk peraturan yang membuka jalan
bagi investasi kapitalis secara leluasa, seperti berbagai peraturan dan
undang-undang liberal misal, UU penanaman modal, UU Migas, UU kelistirikan, UU
Minerba, UU pengadaan tanah, UU SJSN dan BPJS, dan sebagainya.
Akibatnya, negara pun menjadi korporatokrasi
di mana pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan
rakyat dengan pemerintah tidak lagi hubungan pelayanan dan ri’ayah, tetapi
menjadi seperti hubungan dagang, di mana pemerintah bertindak sebagai pedagang
dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang
semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta. Keuntungannya
lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis. Di sisi lain, berbagai subsidi
untuk rakyat pun dikurangi dan jika mungkin dihilangkan. Makin besarnya biaya
politik baik untuk capres maupun caleg, maka corak korporatokrasi itu ke depan
akan makin kental. Kepentingan rakyat akan makin terpinggirkan.
Konsekuensi
Mahalnya biaya politik menjadi capres dan
caleg itu juga akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang
dikeluarkan oleh calon. Jika jalan legal yang ditempuh, maka akan ada pelegalan
agar penguasa dan politisi (anggota legislatif) memiliki penghasilan legal yang
besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkali-kali tampak. Misalnya
dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau gaji pejabat termasuk
presiden dinaikkan. Jika pun gaji tidak naik, maka penghasilan yang bisa dibawa
ke rumah oleh seorang pejabat akan dibuat sebesar mungkin.
Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan
wakil gubernur bisa dibilang sangat besar dan semuanya legal menurut peraturan
yang ada. Hal itu bisa seperti yang dirilis oleh LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
(Fitra) tentang pendapatan yang diterima gubernur dan wakil gubernur
(wagub) dalam sebulan (http://news.liputan6.com/read/761648/10-gubernur-gaji-tertinggi-jokowi-teratas-riau-terbuncit).
Menurut Knowledge Manager Fitra Hadi Prayitno, penghasilan
gubernur dan wagub yang besar, datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan. Hal
itu sesuai PP Nomor 69 Tahun 2010, dan tunjangan operasional berdasarkan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) sesuai PP no 109 Tahun 2000. Makin besar PAD,
penghasilan gubernur dan wagub akan makin besar. Data FITRA itu menyebutkan
diantaranya penghasilan perbulan Gub. DKI Jakarta Rp 1,759 miliar dan Wagub Rp 1,740 miliar; Gubernur Jabar Rp 710,026 juta dan Wagub Rp 691,546 juta; Gubernur Jatim Rp 670,843 juta
dan Wagub Rp 655,723 juta. Angka
itu adalah angka
penghasilan berasal dari gaji, tunjangan dan pendapatan lainnya sesuai
peraturan.
Konsekuensi dari mahalnya biaya politik itu,
ke depan akan bisa disaksikan dibuatnya peraturan dan UU yang memberikan gaji,
tunjangan, fasilitas dan penghasilan yang makin besar untuk penguasa dan
anggota legislatif. Para penguasa dan politisi akhirnya tidak lagi berperan
sebagaimana seharusnya yaitu sebagai pemelihara dan pelayan umat, tetapi justru
menjadi tuan bagi rakyat dan rakyat diposisikan sebagai pelayan. Padahal peran
penguasa adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. Kepentingan dan
kelaslahatan rakyat haruslah dikedepankan dan diutamakan, bukan kepentingan
pribadi. Rasul saw bersabda:
«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ
عَنْهُمْ»
“Dan seorang pemimpin
adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas
mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Konsekuensi lain dari mahalnya biaya politik
itu, adalah terjadinya korupsi, kolusi, manipulasi dan sejenisnya, untuk
mengembalikan modal yang dikeluarkan. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima
tahun menjabat, dua tahun awal untuk mengembalikan modal dan dua tahun terakhir
untuk mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Dalam Islam hal itu
adalah haram dan dilarang keras, bahkan pelakunya diancam tidak akan masuk
surga. Rasul saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ
يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba
diserahi Allah mengurus urusan rakyat, dia mati dan pada hari kematiannya ia
menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga (HR al-Bukhari, Muslim,
Ahmad)
Wahai Kaum Muslimin
Semua itu akan berujung pada terjadi kerusakan
akibat kebijakan, peraturan dan perundangan yang bercorak liberal kapitalistik
berlandaskan ideologi sekuler. Juga akibat perilaku buruk dan merusak yang
dilakukan oleh para penguasa, pejabat dan politisi.
Tidak ada jalan untuk memperbaiki dan
menyelamat masyarakat dari semua kerusakan itu kecuali dengan kembali kepada
petunjuk dan aturan yang diturunkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Dan itu
tidak lain adalah dengan menerapkan syariah secara total di bawah naungan
sistem politik yang digariskan oleh Islam yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj
an-Nubuwwah.[]
Komentar:
Kepala PPATK M Yusuf
mengatakan transaksi mencurigakan di partai politik meningkat 20-25 persen
menjelang pelaksanaan pemilu. (Republika, 28/1)
1.
Itu terjadi akibat sistem politik yang berbiaya mahal. Itu adalah awal
dari persekongkolan politisi-pemodal dan menguatnya korporatokrasi. Itulah
salah satu sumber kebobrokan sistem poltiim demokrasi.
2.
Akibatnya, kepentingan rakyat terpinggirkan dan sumber daya kekayaan
milik rakyat diserahkan kepada swasta. Rakyat tinggal gigit jari.
3.
Hanya dengan sistem politik Islam dalam naungan khilafah saja, penguasa,
pejabat dan politisi akan benar-benar memperhatikan urusan rakyat; dan kekayaan
milik rakyat benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
[www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment