Meski ada protes dan keraguan pemberi pelayanan
kesehatan untuk berpartisipasi pada Jaminan Kesehatan Nasional yang akan
diterapkan 1 Januari 2014, cukup banyak klinik, puskesmas atau rumah sakit yang
bergabung.
Menurut Wamenkes, Ali Ghufron Mukti, sejauh ini ada
sekitar 15.800 dokter praktik mandiri, klinik dan puskesmas yang akan memberi
pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan tingkat lanjutan akan dilakukan sekitar
1.700 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di Indonesia. (Kompas,
30/12/2013).
Bukan Jaminan, Tapi Asuransi Kesehatan Nasional
Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat
akan mendapat jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan
mendapat pelayanan kesehatan gratis.
Itu hanya propaganda. Realitanya justru sebaliknya. Yang
ada bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan
nasional. Dua hal yang sangat berbeda bahkan berkebalikan.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat
dari UU
No.
40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 th. 2011 tentang Badan Pelaksana
Jaminan Sosial (BPJS).
UU SJSN Pasal 19 ayat 1
menegaskan: Jaminan kesehatan
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari
iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa
peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3). Prinsip ekuitas
artinya tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan
sebanding dengan iuran yang dibayarkan.
UU ini secara fundamental telah
mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban
rakyat. Hak rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Konsekuensinya, rakyat
kehilangan haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang seharusnya wajib
dipenuhi oleh negara.
UU ini “menghilangkan”
kewajiban dari negara dan memindahkannya ke pundak rakyat. Rakyat wajib
menanggung pelayanan kesehatannya sendiri dan sesama rakyat. Itulah prinsip
kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip
kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang
diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat
gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Bukan Gratis, Tapi Wajib Bayar
Dalam sistem JKN ini tidak ada
yang gratis. Justru seluruh rakyat wajib membayar dahulu, tiap bulan. JKN
adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat
layanan kesehatan JKN. Itu wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan
wajib UU SJSN. Yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial
kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Pasal 17: “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang
besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal
tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya,
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut
kepada BPJS secara berkala."
Iuran untuk orang miskin
dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran
(PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan
kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat
yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan
kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.
Jadi tidak ada yang gratis
untuk rakyat. Justru rakyat wajib bayar iuran, baik layanan itu ia pakai atau
tidak. JKN lebih tepat disebut layanan kesehatan pra bayar, persis seperti
layanan telpon pra bayar. Sebab setiap rakyat wajib bayar premi (iuran) tiap
bulan, baik layanan itu dimanfaatkan bulan itu atau tidak. Jika tidak bayar maka
tidak akan mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.
Besarnya iuran per bulan telah
ditetapkan. Dalam Perpres ditetapkan nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225,
akan mendapat layanan rawat inap kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar
5% per keluarga (2% dari pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat
layanan rawat inap kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan
rawat inap kelas 2 untuk di bawah golongan III.
Untuk pekerja penerima upah
selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja
dan 4% dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1%
dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat
layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak
kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di
bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus
membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan pemberi kerja
harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap
pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80
ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80
ribu dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan
penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan
rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500
per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah
anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.
Jika ada biaya lebih dari yang
dikover JKN, maka harus dibayar sendiri. Masalahnya, tarif yang ditetapkan
sangat kecil. Contohnya, untuk RS Pratama, praktik dokter, dan fasilitas
kesehatan yang setara tarif yang dikover hanya Rp. 8.000-10.000 per peserta per
bulan; praktik dokter gigi malah hanya Rp 2.000.
Perpres tentang JKN, menetapkan
prosedur layanan JKN, bahwa peserta harus mendapat pelayanan kesehatan di
Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar. Di fasilitas lain
hanya boleh jika di luar wilayah atau kegawatdaruratan medis. Itu artinya,
meski masih di kota yang sama, jika bukan di tempat peserta terdaftar, tidak
akan dikover oleh JKN, artinya harus bayar sendiri.
“Memalak” Rakyat, Himpun Dana
JKN (Jaminan Sosial Nasional)
merupakan cara lain memungut dana secara wajib – “memalak”- seluruh rakyat. Tiap
orang akan terkena pungutan. Pemberi kerja akan terkena pungutan sangat besar. Makin
banyak pekerjanya, makin besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa
saja dimasukkan harga jual produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali kepada
rakyat pada umumnya.
Lebih menyesakkan lagi, jika
telat bayar, tidak diberi layanan, bisa didenda, bahkan tidak diberi pelayanan
administratif publik seperti ngurus KTP, akte, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi
kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota
keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah kezaliman
luar biasa. Sudah dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa
dipidana.
Itulah “pemalakan” rakyat untuk
menghimpun dana besar. Kompas (26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan
kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80
triliun per tahun. Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS
ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun.
Dana Jaminan Sosial itu wajib
disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasl 40 UU
BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11
UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat
Utang Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber dana
baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana itu
yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin karena itulah Barat
(khususnya melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat getol bahkan mendekte
agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu segera eksis dan berjalan.
Dalam
Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas
kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan
kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih
wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang
diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«Ø§Ù„Ø¥ِÙ…َامُ
رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙˆَÙ…َسْؤُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ»
Imam adalah pemelihara dan
dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah
bin Umar)
Secara praktis, penyediaan
layanan kesehatan gratis
telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi saw sebagai kepala negara, dan
para Khulafa’ur Rasyidin. Hal itu menjadi
sunnah Nabi saw dan ijmak sahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan
kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Itu menjadi
hak setiap individu rakyat sesuai
kebutuhan layanan kesehatan yang
diperlukan tanpa memandang tingkat ekonominya.
Dana untuk itu bisa dipenuhi
dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil
pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, bermacam tambang, migas, panas
bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah,
fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan
lebih dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis
untuk seluruh rakyat.
Namun semua itu hanya bisa
terwujud, jika Syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem Khilafah
Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam,
untuk sesegera mungkin mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah
kewajiban syar’i dan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. []
[www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment