Selama bulan Desember, suasana kristiani begitu terasa. Asesoris khas Natal ada di mana-mana. Lagu-lagu
kristiani terus diperdengarkan. Para pelayan dan pegawai diharuskan memakai
atribut Natal dan yang terfavorit asesoris Sinterklas. Tak sedikit dari mereka
adalah muslim, bahkan ada yang berkerudung. Seringkali mereka merasa terpaksa,
jika tidak melakukannya mereka takut diberhentikan (dipecat).
Hampir semua media, terutama media elektronik, dijejali acara bernuansa Natal
dan Tahun Baru. Walhasil, negeri muslim ini selama bulan Desember seolah menjelma
layaknya negeri kristen.
Sarat Motif Ekonomi dan Politik
Secara ekonomi, para kapitalis paling banyak
untung dari semarak Nata. Di Barat, penjualan ritel meningkat tajam di akhir tahun. Di Amerika Serikat, menurut
data US Census Bureau, rata-rata kenaikan penjualan ritel di bulan
Desember adalah yang tertinggi, mencapai 16 persen dengan pangsa
pasar 10 persen dari total penjualan dalam setahun. Inilah yang disebut sebagai
christhmas season.
Di negeri Muslim, para pebisnis yang rata-rata Kristen pun ingin meraup untung seperti di negeri
Kristen. Mereka
ingin Natal bisa seperti momentum Idul Fitri di mana penjualan dapat mencapai
20-30 persen dari total penjualan dalam setahun. Diantara caranya, semarakkan
menyambut Natal dengan pesta diskon dan bermacam hadiah, dengan disertai
semarak asesoris dan suasana Natal.
Selain motif ekonomi, motif politik juga tak ketinggalan. Kaum Kristen ingin
menunjukkan eksistensi dan mungkin dominasi mereka di negeri muslim. Disamping itu, moment Natal dijadikan momen
terpenting untuk menanamkan ide sinkretisme dan pluralisme. Jika ini berhasil
maka akidah umat akan makin lemah.
Semarak Natal pun sarat dengan proyek westernisasi, menanamkan budaya Barat agar dekat kepada kaum Muslim dan bahkan diadopsi. Ditampakkanlah budaya hura-hura, pergaulan
bebas, dan menghambur-hamburkan harta dalam momentum Natal dan Tahun Baru. Kaum
Muslim didorong sedemikian rupa agar mengambil budaya Barat dan makin jauh dari budaya Islam.
Patut diingat, misi Kristen tidak lepas dari misi
penjajahan. Itu adalah bagian dari trilogi penjajahan yakni gold, glory, dan gospel (kekayaan alam, kejayaan, dan kristenisasi). Maka pembaratan
tidak bisa dipisahkan dari upaya misionaris menggiring umat Islam keluar dari
agamanya.
Sarat Misi Kristen, Pluralisme, dan Sinkretisme
Monentum Natal dijadikan ajang untuk mengemban misi menyebarkan misi Kristen. Karenanya umat Kristiani sangat serius
merayakan Natal dan Tahun Baru untuk menarik minat kaum lainnya, termasuk
Islam. Perayaan Natal Bersama (PNB), dijadikan salah
satu uslub penting
untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan
Kristen, dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan
selamat. Karena itulah, ajakan untuk bersama-sama ikut
merayakan natal atau setidaknya mengucapakan selamat natal begitu gencar dengan
berbagai bentuk, cara, dan dalih.
Seruan ikut serta dalam perayaan Natal, tak lain adalah kampanye ide
pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Ajaran ini mengajak umat
untuk menganggap agama lain juga benar. Khusus dalam konteks natal, itu berarti umat muslim didorong untuk menerima kebenaran ajaran kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan
Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme,
pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan
hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru,
sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun
baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan
kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan!
Jika mereka menyambut dan memberi penghargaan karena
umat Islam telah menerima apalagi ikut serta dalam perayaan Natal bersama, maka sungguh itu adalah ukuran bahwa umat telah
mengikuti millah, jalan hidup dan
agama mereka. Sebab Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
﴿وَلَن
تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ﴾
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka.” (TQS al-Baqarah [2]: 120)
Haram Ikut Merayakan atau Mengucapkan Selamat Natal
Ucapan selamat mengandung doa dan harapan kebaikan
untuk orang yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan kegembiraan dan
kesenangan bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan atau dicapai oleh orang
yang diberi selamat.
Sementara perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas kesyirikan
menyekutukan Allah SWT. Lalu bagaimana mungkin, umat Islam mengucapkan selamat, dengan semua kandungannya itu, kepada orang yang menyekutukan Allah? Padahal jelas-jelas, Allah SWT menyatakan mereka adalah orang kafir (QS
al-Maidah [5]: 72-75), yang di akhirat kelak akan dijatuhi siksaan yang teramat pedih. Disamping itu, keyakinan
Trinitas di sisi Allah adalah dosa dan kejahatan yang sangat besar, kejahatan
yang hampir-hampir membuat langit pecah, bumi
belah, dan gunung-gunung runtuh (lihat QS Maryam [19]: 90-92).
Jadi jelas sekali, mengucapkan selamat Natal
dan selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru
ikut serta merayakannya, tentu lebih haram dan lebih berdosa.
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk
menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam
fatwa yang dikeluarkan Komisi
Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI
diantaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam
hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan
Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam
buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang
diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, juga sudah
diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.
Ikut merayakan
Natal dan hari raya agama lain hukumnya jelas haram dan bertentangan dengan
al-Quran. Ada beberapa alasan yang mendasari.
Pertama, Allah SWT
berfirman:
]وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ
الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian
palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya. (QS al-Furqan [25]: 72).
Az-zûra ini meliputi semua bentuk kebatilan. Yang paling besar adalah
syirik, dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu
Ibn Katsir mengutip dari Abu al-‘Aliyah,
Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, az-zûra itu adalah hari raya kaum Musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Menurut
asy-Syawkani, kata lâ
yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna az-zûra, tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, iv/89). Menurut al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah menghadirkan kebohongan dan kebatilan, serta
menyaksikannya. Ibn ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik.
Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kedua, perayaan Natal adalah bagian dari ajaran agama, karena itu
merayakannya bagian dari ritual agama mereka. Orang Islam yang merayakannya,
bukan hanya maksiat, tetapi bisa sampai murtad jika
disertai dengan I’tiqad, karena, telah melakukan ritual agama lain.
Ketiga, Rasul melarang kita menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, maka lebih dari
menyerupai tentu lebih tidak boleh lagi. Merayakan Natal, bukan hanya
menyerupai orang Kristen, tetapi lebih dari itu justru telah
mempraktikkan bagian dari ritual mereka.
Selain tidak boleh menghadiri Natal
Bersama, kaum Muslim juga dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu
mempublikasikan. Allah berfirman:
﴿إِنَّ
الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji
(fakhisyah) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, maka mereka berhak
mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (TQS an-Nur [24]: 19)
Menyebarkan fakhisyah
itu bukan hanya masalah pornografi dan pornoaksi, tetapi juga semua bentuk
kemaksiatan. Menyemarakkan Perayaan Natal, meramaikan dan menyiarkannya jelas
menyebarluaskan kekufuran dan syirik yang diharamkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana
mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka
tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslimin menyetujui dan membantu mereka
melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan
ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm
Ahl al-Dzimmah, i/235).
Para ulama
dahulu juga telah jelas menyatakan haramnya menghadiri perayaan
hari raya kaum kafir. Imam
Baihaqi menyatakan, “Kaum
Muslimin diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la berkata, “Kaum Muslimin telah
dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau
kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka,
atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.
201).
Wahai kaum Muslimin
Tak sepantasnya umat terpedaya ikut merayakan Natal
dan hari raya agama lain. Realita yang ada ini bukti, penjagaan akidah itu
butuh kekuasaan yang menjunjung kedaulatan syara’ dan menerapkan syariah Islam,
tidak lain adalah Khilafah Islamiyah Rasyidah. Tugas kitalah untuk segera
mewujudkannya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
[]
Post a Comment