Oleh: dr. Arum Harjanti (LajnahSiyasiyah MHTI)
Beberapa analisa penyebab kasus kekerasan seksual anak dikemukan oleh anggota DPR Nova Riyanti Yusuf, bahwa kemiskinan dan kepadatan penduduk menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual pada anak. Hal itu dapat dilihat dari beberapa contoh kasus bahwa pelaku kekerasan tersebut adalah orang-orang terdekat dengan korban (bkkbn.go.id,11/1).Faktor pendidikan, kurangnya pengawasan terhadap anak serta kemajuan teknologi turut menjadi faktor pendukung tindakan itu.Pendapat senada diungkapkan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi yang menyatakan pertumbuhan jumlah penduduk saat ini tak dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya perlindungan terhadap anak (radar Bogor, 15/1).
Kekerasan seksual pada anak sesungguhnya adalah masalah yang diakibatkan oleh penerapan sistem hidup sekuler oleh negara ini. Kejadian tersebut tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang salah yang telah berkembang di masyarakat. Pelaku kekerasan seksual pada anak yang mayoritasnya adalah orang dekat korban, menggambarkan keadaan masyarakat yang sakit. Kepadatan penduduk, kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian orangtua kepada anak, adalah suatu kondisi yang tidak berdiri sendiri. Semua merupakan buah dari pohon sistem kehidupan sekarang yaitu demokrasi liberal.
Nilai kebebasan yang dikandung sistem ini menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia. Hingga seorang ayah kandung tega menggauli darah dagingnya sendiri. Membuat saudara kandung mengeluarkan hasrat buruk terhadap saudaranya sendiri. Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar perilaku, maka hawa nafsu menjadi penentu. Akibatnya, orang berlomba memenuhi kebutuhan jasmani sesuka hatinya. Liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu.
Pada sisi lain, maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan bagi anak-anak. Bahkan orang tua yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi sumber ancaman bagi anak-anak. Hal ini menggambarkan bahwa keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman bagi anak. Kondisi ini menjadi makin berat ketika orangtua termasuk ibu sibuk bekerja. Kesibukan orang tua membuatnya lupa mengawasi anaknya(Republika,15/1). Bahkan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menyatakan maraknya kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga dekat, adalah indikasi dari keluarga yang gagal. Oleh karena itu dibutuhkan keluarga yang perhatian kepada anak dan keluarga ramah anak (VIVAnews, 13/1).
Namun saat ini, keluarga semacam itu susah diwujudkan. Kemiskinan membuat kaum ibu harus ikut bekerja mencari nafkah, sehingga mengabaikan perannya sebagai pendidik anak. Sulitnya kehidupan mengakibatkan tekanan psikologis pada orang tua, sehingga memicu terjadinya kekerasan kepada anak.
Selain keluarga, lingkungan dan Negara juga telah abai memberikan jaminan keamanan kepada anak-anak. Kehidupan masyarakat yang saat ini diwarnai oleh kehidupan materialistis dan hedonis, akan membentuk individu yang hanya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan Negara memfasilitasi hal tersebut. Maraknya pornografi dan pornoaksi menjadi bukti bagaimana syahwat dibiarkan menuntut pemuasan. Rendahnya kontrol masyarakat juga membuat banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Akibatnya para pelaku masih bebas berkeliaran dan mengancam keselamatan anak (antaranews, 16/1).
Ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menjadi bukti tambahan lemahnya jaminan negara atas keamanan anak. Hukuman masih tidak memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara. Namun para hakim sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal. Solidaritas Masyarakat Anti Kekerasan mengusulkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dihukum minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup (beritasatu,com, 17/1).

Daulah khilafah membangun masyarakat Islam diatas landasan keimanan, yang meyakini adanya hari pembalasan. Negara menjadi ‘perisai’ yang melindungi seluruh warga negaranya, termasuk anak-anak. Negara wajib menjaga kebersihan pikiran dan lingkungan dari kemaksiatan. Islam juga menetapkan hukuman berat bagi pelaku tindak kekerasan seksual apalagi kepada anak, sehingga akan memberikan efek jera pada yang lain. Oleh karena itu, anak akan terbebas dari kekerasan seksual ketika hidup dalam naungan Daulah Khilafah.[]
[www.globalmuslim.web.id]
Dalam pengalaman saya selaku pengacara yang sering menangani kasus2 anak, kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena berbagai faktor, salah satu faktor adalah kurangnya perlindungan orangtua, masyarakat, lingkungan pendidikan dan negara, yang harus diwaspadai dan tidak boleh lengah sedikitpun adalah bahwa sepanjang kehidupan manusia masih ada maka kejahatan termasuk kejahatan terhadap anak akan tetap selalu ada, baik di negara muslim, kristen, hindu dan lainnya, karena itu perlu terus menerus perlindungan terhadap anak baik oleh orangtua, masyarakat, lingkungan pendidikan dan negara. Indonesia menghukum pelaku sangat ringan, ada pelaku yang pernah dihukum karena menganiaya dan memperkosa anak usia 8 tahun dengan penjara 4 tahun, ketika keluar dari penjara pelaku mengulang perbuatannya terhadap anak lain dan cuma dihukum 8 tahun, ini terjadi di Aceh, ada juga seorang kepala pesantren melakukan kejahatan seksual terhadap 12 anak didiknya di Aceh, tapi dihukum cuma beberapa tahun, padahal di Australia pelaku semacam itu dihukum mati dikursi listrik, dan dalam Islam pelaku seperti itu juga bisa dihukum mati, kenapa kita yang Islam di Indonesia memberi hukum yang lebih lunak, hal ini sangat membahayakan anak2 baik yang sudah jadi korban maupun yang belum jadi korban, paling tidak hukuman seumur hidup dalam sel khusus (tidak dicampur dengan yang lain, karena yang lain itu walau bukan anak bisa jadi korban juga).
ReplyDelete